Bung Karno “hidup kembali” tatkala Pancasila dipersoalkan siapa yang melahirkan. Maka sebaiknya bukan mendiskusikan siapa yang melahirkan Pancasila. Tetapi cukuplah melihat dengan kejujuran bahwa Bung Karno adalah proklamator yang justru melahirkan Republik Indonesia. Dan oleh karena itu setiap tanggal 21 Juni sejumlah jemaah dan termasuk para kader marhaenis selalu menyelenggarakan khaul memeringati wafatnya Bung Karno. Sebagai wujud kesinambungan batin yang tak terputuskan.
Setiap warga NKRI semestinya mengingat sejarah Indonesia. Sekaligus tidak melupakan sejarah perjuangan dan peran Bung Karno pada masa prakemerdekaan, kemerdekaaan dan awal menggerakkan roda NKRI. Dengan demikian kita akan memahami Bung Karno dan nilai yang diperjuangkan. Adapun filosofi perjuangan Bung Karno tidak lepas dari nilai-nilai.
Pertama: Kebangsaan. Terbukti Bung Karno dengan serta merta mengumandangkan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, setelah mendengar dan didorong situasi dan pendapat kawan seperjuangan juga merasakan kejamnya penjajahan. Kemudian menghadapi kelas pertama 1947 dan kelas kedua 1949. Juga menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA). Masihkah kurang nasionalismenya, jiwa kebangsaannya?.
Bung Karno memahami ke Indonesiaan, yang sekaligus kemajemukannya. Sehingga dengan segala pemikirannya Bung Karno mencanangkan NASAKOM sebagai gambaran bahwa di Indonesia telah ada berbagai macam pemikiran, agama serta kepercayaan yang sebetulnya bisa dipersatukan. Menurut saya inilah kejujuran dan sikap obyektif Bung Karno dalam melihat pluralism Indonesia.
Nilai kedua yang diperjuangkan Bung Karno adalah “kerakyatan”, sikap yang komitmen pada nasib rakyat. Khususnya kaum tani dan buruh. Wong Cilik memang berada di lapisan buruh dan petani , dari dahulu hingga sekarang. Karenanya Bung Karno melahirkan Marhaenisme, aliran pemikiran kerakyatan khas Indonesia.
Sedangkan dalam sikap komitmennya pada kaum buruh Saya ingin mengingatkan lagi pesan Bung Karno agar para juragan dan pengusaha tidak menelantarkan kaum buruh dengan menyebut ”lima pesannya” yaitu: Wareg, Waras, Wasis, Wutuh dan Wisma.
WAREG : Pengertianya adalah cukup pangan. WARAS : Maksudnya terjamin kesehatanya. WASIS : Berarti mendapat pendidikan dan pelatihan. WUTUH : Cukup sandang dan pakaian. WISMA : Artinya rumah atau tempat tinggal. Lima pesan Bung Karno tersebut secara implisit juga mengandung maksud agar pengusaha ketika memberi upah pada pekerja jangan hanya berpikir untuk kebutuhan makan, pengetahuan, sehat dan tempat tinggal. Namun juga memikirkan keluarganya : anak dan istrinya.
Nilai ketiga yang diperjuangkan Bung Karno adalah ”Kemandirian”, yang pada hakikatnya adalah Indonesia jangan bergantung pada asing. Terlebih kepada Amerika (saat itu). Maka relevan ketika Bung Karno menggagas konsep BERDIKARI (Berdiri di atas Kaki Sendiri).
Sikap jujur dan berani demikian patut diwarisi dan diaktualisasikan tata kelola pemerintah. Seperti akhir-akhir ini terbukti oleh bidang perikanan dan kelautan yang pekan lalu tanggal 6 Juni 2017 mendapat apresiasi dari Majelis PBB di New York AS, di dalam Forum “ Transnational Organized Crimes In Fisheries“.
Oleh banyak pembicara dikatakan bahwa Menteri Susi Pudjiastuti terbaik, terutama kemampuan dan keberaniannya memberantas penjahat kapal penangkap ikan asing yang sering mencuri di wilayah perariran Indonesia.
Demikian,nilai-nilai perjuangan Bung Karno yaitu : Kebangsaan, Kerakyatan dan Kemandirian yang telah mulai kembali menjadi dasar penyemangat Kabinet Jokowi-JK. Dan seyogyanya nilai-nilai perjuangan Bung Karno diajarkan pada generasi muda yang cinta NKRI. (*)
(Bin Subiyanto M adalah mantan aktifis Fakultas Biologi Unsoed dan Fakultas Filsafat UGM, kini anggota Dewan Pengupahan dan pegiat buruh Kudus)